JPPR, JAKARTA - Secara kuantitas, kelompok golongan putih (golput) adalah jawara dalam Pilgub DKI Jakarta putaran pertama.
Golput mampu menyedot 2.555.207 pemilih (36,7 persen). Menyikapi kemenangan kaum golput, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menilau KPU DKI Jakarta dan tim kampanye para pasangan calon kurang maksimal menjalankan tugas dan fungsinya.
"KPUD kurang maksimal. Tim kampanye pasangan calon kurang mendidik," tulis Masykurudin Hafidz dalam rilisnya kepadaTribunnews.com, Kamis (19/7/2012).
Setidaknya, ada tiga hal yang menjadi sorotan JPPR, terkait mengapa angka golput sedemikian besarnya. Pertama, KPUD sebagai penyelenggara pemilukada kurang memaksimalkan sosialisasi visi, misi, dan program dari pasangan calon.
Sehingga, tingkat pengetahuan masyarakat pemilih kurang dalam mempertimbangkan visi, misi, dan program saat hendak mencoblos, dan lantas malas ke TPS.
Secara resmi, KPU DKI baru sekali menggelar debat publik pasangan calon selama masa kampanye. Padahal, pada pasal 24 Peraturan KPU 14/2010 menjelaskan, pelaksanaan debat pasangan calon dapat diselenggarakan oleh KPU provinsi, dan disiarkan langsung oleh media elektronik, serta dilaksanakan paling banyak lima kali.
Kedua, KPU DKI tidak mencetak visi, misi, dan program pasangan calon dalam satu buku atau media sejenis secara khusus, dan membagikan sebanyak-banyaknya ke masyarakat pemilih Jakarta.
Ketiadaan informasi visi, misi, dan program yang lengkap dan berimbang yang dicetak dalam satu buku, membuat masyarakat kekurangan informasi dalam mempertimbangkan siapa yang akan dipilih.
Padahal, lanjut JPPR, pasal 15 Peraturan KPU 14/2010 menyebutkan, dalam rangka pendidikan politik, dapat memfasilitasi penyebarluasan materi kampanye dan sosialisasi kampanye yang meliputi visi, misi, dan program pasangan calon.
Ketiga, kampanye tim pasangan calon, terutama dalam kampanye terbuka, lebih terkesan sebagai ajang kekuatan seberapa besar didukung oleh masyarakat.
"Kampanye dengan cara unjuk kekuatan dukungan dengan penggalangan massa, justru kontraproduktif dan membuat masyarakat tidak simpatik," tutur Masykurudin.
Pemasangan alat peraga kampanye tim pasangan calon juga serampangan, melanggar aturan, dan sama sekali tidak mengindahkan aspek estetika lingkungan Jakarta.
Cara kampanye dan penempatan alat peraga kampanye tidak membuat masyarakat paham akan visi, misi, dan program dari pasangan calon yang digagasnya, tapi justru sebaliknya, membuat masyarakat pemilih semakin malas dan apatis untuk datang mencoblos ke TPS. (*)
Sumber: Tribun News, 19 Juli 2012
Repost: Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)