Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) mencatat sudah ada 10 bentuk penggunaan SARA dalam pilgub. Dua bentuk isu SARA disebarkan lewat selebaran dan spanduk di wilayah Tebet, Jakarta Selatan dan delapan lainnya lewat SMS dan BBM.
Koordinator JPPR Yusfitriadi kemudian melaporkan temuan tersebut ke Panwaslu DKI Jakarta. Laporan tersebut diterima langsung oleh Ketua Panwaslu DKI Ramdansyah.
Menurut Yusfitriadi, kampanye dengan menggunakan isu SARA tidak mencerdaskan. Sebab kampanye seperti ini tidak tepat dialamatkan pada warga Jakarta yang sudah mulai menghargai pluralisme.
"Kampanye dengan gunakan isu SARA kontraproduktif. Penggunaan isu SARA untuk menyudutkan pihak lain justru akan merugikan diri sendiri bahkan bisa menghilangkan dukungan," ujar Yusfitriadi, di kantor Panwaslu DKI Jakarta, Rabu (25/7).
Selain itu, menurutnya, kampanye SARA justru akan meningkatkan angka pemilih yang tidak mencoblos atau pun golput. Sebetulnya, untuk meningkatkan partisipasi pemilih, seharusnya pasangan calon dan tim sukses melakukan pendekatan ke masyarakat dengan penajaman visi, misi dan program yang sudah dicanangkan.
"Kampanye SARA juga akan rentan terhadap konflik horizontal," tegasnya.
JPPR meminta Panwaslu dan KPU DKI untuk segera bekerja sama dengan lembaga terkait dan juga lembaga ormas keagamaan untuk bisa membendung isu SARA selama masa Ramadan ini. Dengan demikian, rakyat diberi informasi yang benar dan persaingan Pemilu Kada tidak membangun dan meruncingkan konflik antargolongan.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraeni mengatakan, selain isu SARA akan marak dalam pilgub putaran kedua, juga pilgub yang bertepatan dengan Ramadan sangat mungkin untuk dimanfaatkan para kandidat untuk melakukan politik uang dalam bentuk sedekah, zakat, ataupun hibah selama Ramadan, dan menjelang Idul Fitri.
Titi meminta kandidat untuk tidak manfaatkan momen suci ini untuk berbuat curang.
"Dalam Islam, politik uang dalam bentuk zakat merupakan penghinaan yang luar biasa. Hibah, zakat, sedekah yang mengatasnamakan untuk memilih salah satu kandidat dalam Pilgub DKI Jakarta merupakan penghinaan luar biasa," ujarnya.
Sementara, Ketua Panwaslu DKI Jakarta Ramdansyah sulit untuk menindaklanjuti semua laporan mengenai isu SARA, apalagi bila isu itu hanya dilakukan melalui media sosial.
"Jika isu SARA dan black campaign itu beredarnya di media sosial, itu bukan ranah kami dan penyelesaiannya harus menggunakan Undang-undang ITE," ujarnya.
Menurutnya, hal yang paling sulit dilacak adalah pihak mana atau siapa orang yang menyebar isu tersebut. Panwaslu hanya bisa mengimbau warga untuk tidak terprovokasi. "Jangan mudah diprovokasi dan percaya terhadap isu yang tak jelas asalnya," kata Ramdansyah. (*/OL-10)
Sumber: Media Indonesia, 25 Juli 2012
Repost: Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)